II. HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN FIQH PERTIMBANGAN
oleh Dr. Yusuf Al Qardhawy
FIQH prioritas memiliki hubungan yang sangat erat dengan
bentuk fiqh lainnya, dalam beberapa hal, seperti yang pernah
kami tulis sebelumnya.
Ia berkaitan dengan fiqh pertimbangan (muwazanah), yang pernah
saya bahas dalam buku saya Prioritas Gerakan Islam. Di dalam
buku itu saya mengutip beberapa pokok pikiran Syaikh Islam,
Ibn Taimiyah, yang saya pandang sangat berguna.
Peran terpenting yang dapat dilakukan oleh fiqh pertimbangan
ini ialah:
1) Memberikan pertimbangan antara berbagai kemaslahatan dan
manfaat dari berbagai kebaikan yang disyariatkan.
2) Memberikan pertimbangan antara berbagai bentuk kerusakan,
madharat, dan kejahatan yang dilarang oleh agama.
3) Memberikan pertimbangan antara maslahat dan kerusakan,
antara kebaikan dan kejelekan apabila dua hal yang
bertentangan ini bertemu satu sama lain.
PERTIMBANGAN ANTARA BERBAGAI KEMASLAHATAN SATU DENGAN LAINNYA
Pada kategori pertama (kemaslahatan), kita dapat menemukan
kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh syari'ah agama, bahwa
kemaslahatan tidak berada pada satu peringkat. Tetapi ia
bertingkat-tingkat, sebagaimana peringkat utama yang telah
ditetapkan oleh para ahli usul fiqh. Mereka membagi
kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan dengan urutan sebagai
berikut: dharuriyyat, hajjiyyat, dan tahsinat. Yang
dimaksudkan dengan dharuriyyat ialah sesuatu yang kita tidak
bisa hidup kecuali dengannya; dan hajjiyyat ialah kehidupan
memungkinkan tanpa dia, tetapi kehidupan itu mengalami
kesulitan dan kesusahan; dan tahsinat ialah sesuatu yang
diper-gunakan untuk menghias dan mempercantik kehidupan, dan
seringkali kita sebut dengan kamaliyyat (pelengkap).
Fiqh pertimbangan --dan pada gilirannya, fiqh
prioritas--mengharuskan kita:
* Mendahulukan dharuriyyat atas hajjiyyat, apalagi terhadap
tahsinaf;
* Dan mendahulukan hajjiyyat atas tahsinat dan kamaliyyat.
Pada sisi yang lain, dharuriyyat sendiri terbagi-bagi lagi
menjadi beberapa bagian. Para ulama menyebutkan bahwa
dharuriyyat itu ada lima macam: agama, jiwa, keturunan, akal,
dan harta kekayaan. Sebagian ulama menambahkan dharuriyyat
yang keenam, yaitu kehormatan.
Agama merupakan bagian pertama dan terpenting daripada
dharuriyyat. Ia harus didahulukan atas berbagai macam
dharuriyyat yang lain, sampai kepada jiwa manusia. Begitu
pula, jiwa harus diutamakan atas dharuriyyat yang lain di
bawahnya.
Dalam memberikan pertimbangan terhadap berbagai kepentingan
tersebut, kita dapat mempergunakan kaidah berikut ini:
Mendahulukan kepentingan yang sudah pasti atas
kepentingan yang baru diduga adanya, atau masih
diragukan.
Mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang
kecil.
Mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan
individual.
Mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan
yang sedikit.
Mendahulukan kepentingan yang berkesinambungan atas
kepentingan yang sementara dan insidental.
Mendahulukan kepentingan inti dan fundamental atas
kepetingan yang bersifat formalitas dan tidak penting.
Mendahulukan kepentingan masa depan yang kuat atas
kepentingan kekinian yang lemah.
Pada Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah, kita dapat melihat Nabi
saw yang mulia memenangkan kepentingan inti dan fundamental,
serta kepentingan masa depan atas kepentingan yang bersifat
formalitas dan tidak penting, yang seringkali menipu manusia.
Rasulullah saw menerima syarat-syarat yang pada awalnya diduga
bahwa penerimaan itu tidak adil bagi kaum Muslim, sehingga
mereka harus menerima bagian yang kurang ... Pada saat itu
baginda Nabi saw yang mulia menerima permintaan orang kafir
untuk menghapuskan "basmalah" yang tertulis pada lembar
perjanjian, dan sebagai gantinya ditulislah "bismika
allahumma." Selain itu, beliau juga merelakan untuk
menghapuskan sifat kerasulan yang tertulis setelah nama Nabi
saw yang mulia "Muhammad Rasulullah" dan cukup hanya dengan
menuliskan nama beliau saja "Muhammad bin Abdullah". Semua itu
dilakukan oleh Rasulullah saw untuk mendapatkan ketenangan dan
perdamaian di balik itu, sehingga memungkinkannya untuk
menyiarkan da'wah Islam, dan mengajak raja-raja di dunia ini
untuk memeluk Islam. Tidak diragukan lagi bahwa tindakan
Rasulullah saw itu disebut di dalam al-Qur'an al-Karim dengan
istilah kemenangan yang nyata (fath mubin). Contoh-contoh
serupa itu banyak kita temukan pada kehidupan beliau.
PERTIMBANGAN ANTARA KERUSAKAN DAN MADHARAT YANG SATU DENGAN
LAINNYA
Pada bagian kedua --kerusakan dan Madharat-- kita dapat
menemukan bahwa kerusakan dan madharat itu memiliki tingkatan,
sebagaimana tingkat yang terdapat pada kemaslahatan.
Kerusakan yang dapat merusak perkara yang termasuk dharuriyyat
adalah berbeda dengan kerusakan yang dapat merusak hajjiyyat,
atau tahsinat.
Kerusakan yang dapat membahayakan harta benda tidak sama
tingkatannya dengan kerusakan yang dapat membunuh jiwa; dan
juga tidak sama dengan kerusakan yang dapat membahayakan agama
dan aqidah.
Volume, intensitas, dan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan
dan madharat itu berbeda-beda tingkatannya. Atas dasar inilah,
para fuqaha menetapkan sejumlah kaidah yang baku mengenai
hukum yang penting; antara lain.
"Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan."
"Suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan."
"Suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang
sepadan atau yang lebih besar."
"Bahaya yang lebih ringan, dibandingkan dengan bahaya
lainnya yang mesti dipilih, boleh dilakukan"
"Bahaya yang lebih ringan boleh dilakukan untuk menolak
bahaya yang lebih besar."
"Bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk
menolak bahaya yang sifatnya lebih luas dan umum."
PERTIMBANGAN ANTARA MASLAHAT DAN KERUSAKAN APABILA KEDUA HAL
YANG BERTENTANGAN INI BERTEMU
Apabila dalam suatu perkara terdapat maslahat dan
kerusakannya, ada bahaya dan manfaatnya, maka keduanya harus
dipertimbangkan dengan betul. Kita harus mengambil keputusan
terhadap pertimbangan yang lebih berat dan lebih banyak,
karena sesungguhnya yang lebih banyak itu mengandung hukum
yang menyeluruh.
Kalau misalnya kerusakannya dirasakan lebih banyak dan lebih
berat dalam suatu perkara dibandingkan dengan manfaat yang
terkandung di dalamnya, maka perkara seperti ini mesti
dicegah, karena kerusakan lebih banyak, kita terpaksa
mengabaikan sedikit manfaat yang terkandung di dalamnya.
Keputusan ini didasarkan kepada apa yang dikatakan oleh
al-Qur'an al-Karim sehubungan dengan hukum khamar dan berjudi
ketika dia memberikan jawaban terhadap orang-orang yang
bertanya mengenai kedua hal itu:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar danpada manfaatnya ..." (al-Baqarah: 219)
Sebaliknya, apabila dalam suatu perkara terdapat manfaat yang
lebih besar, maka perkara itu boleh dilakukan, sedangkan
kerusakan kecil yang ada padanya dapat diabaikan. Di antara
kaidah penting dalam hal ini ialah:
"Menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan
manfaat."
Kaidah ini kemudian disempurnakan dengan kaidah lain yang
dianggap penting:
"Kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh,
kemaslahatan yang lebih besar."
"Kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi
kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan."
"Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan
karena ada kerusakan yang baru diduga adanya."
Sesungguhnya fiqh pertimbangan seperti itu memiliki arti yang
sangat penting dalam kehidupan nyata manusia, khususnya dalam
masalah Siyasah Syari'ah (politik syari'ah), karena ia
merupakan landasan bagi pembinaan umat, yang pada gilirannya
dapat dipandang sebagai fiqh prioritas.
BAGAIMANA MENGETAHUI KEMASLAHATAN DAN KERUSAKAN?
Kemaslahatan yang mesti dipelihara ialah kepentingan dunia dan
kepentingan akhirat; atau kepentingan dunia sekaligus
kepentingan akhirat secara bersamaan. Begitu pula halnya
dengan kerusakan yang sudah tidak diragukan lagi
keberadaannya.
Masing-masing kemaslahatan dan kerusakan ini dapat diketahui
melalui akal pikiran, atau melalui ketetapan agama, atau
melalui keduanya sekaligus.
PENDAPAT IBN ABD AL-SALAM
Imam Izzuddin bin Abd al-Salam merinci cara untuk mengetahui
bemaslahan dan kerusakan, berikut peringkat-peringkatnya.
Dengan jelas beliau menulis dalam bukunya, Qawa'id al-Ahkam
Mashalih al-Imam:
"Kebanyakan kemaslahatan dunia dan kerusakannya dapat
diketahui dengan akal, sekaligus menjadi bagian terbesar
dari syari'ah; karena telah diketahui bahwa sebelum
ajaran agama diturunkan, orang yang berakal telah
mengetahui bahwa usaha untuk mencapai suatu kebaikan dan
menghindarkan terjadinya suatu kerusakan dari diri
manusia, menurut pandangannya merupakan sesuatu yang
terpuji dan baik. Mendahulukan kemaslahatan yang dianggap
paling penting juga dinilai sesuatu yang terpuji dan
baik. Dan penolakan terhadap kerusakan dianggap paling
membahayakan juga dianggap sesuatu yang terpuji dan baik.
Mendahulukan suatu kemaslahatan yang diterima (rajih)
atas kemaslahatan yang tidak diterima (marjuh) juga
merupakan sesuatu terpuji dan baik. Dan penolakan
terhadap kerusakan yang dianggap pasti atas penolakan
yang belum dianggap pasti juga merupakan sesuatu yang
baik."
Orang-orang yang bijak pun sepakat dengan pendapat di atas.
Begitu pula, berbagai ajaran syari'ah mengharamkan darah,
harta kekayaan, dan kehormatan; dan menganjurkan kepada kita
untuk melakukan sesuatu yang terbaik, baik berupa perkataan
maupun perbuatan.
Apabila terdapat perselisihan pendapat pada sebagian persoalan
tersebut, maka sebetulnya perselisihan tersebut muncul ketika
ada kesamaan pertimbangan antara maslahat dan madharat. Pada
saat inilah orang-orang merasa bimbang mengambil keputusan.
Begitu pula para dokter yang sedang menghadapi komplikasi dua
macam penyakit pada pasiennya, mereka akan mengambil risiko
yang paling ringan, dan mengambil keselamatan dan kesehatan
yang paling tinggi, dan tidak mengindahkan risiko yang ringan
itu. Akan tetapi mereka akan bimbang manakala menghadapi
risiko dan keselamatan yang sama. Dunia kedokteran bagaikan
syari'ah. Ia dibuat untuk mengambil keselamatan dan kesehatan,
menolak kerusakan dan penyakit. Ia diadakan untuk menolak
segala kemungkinan buruk yang mungkin timbul, dan mengambil
kebaikan yang mungkin dilakukan. Dan jika penolakan terhadap
keburukan itu tidak dapat dilakukan, pengambilan terhadap
kebaikan juga tidak dapat dilakukan, sehingga tingkat
keburukan dan kebaikan berada pada satu titik yang sama, maka
ia harus mengambil keputusan. Jika ada perbedaannya, maka ia
harus memilih pertimbangan yang lebih berat. Dan jika tidak
ada perbedaannya, maka ia tidak dapat melakukan tindakan
apa-apa. Yang menetapkan aturan syari'ah ini adalah juga yang
menetapkan aturan dalam dunia kedokteran. Dua dunia ini
sama-sama diletakkan untuk mengambil kemaslahatan bagi
hamba-hamba-Nya dan menyingkirkan kerusakan dari mereka.
Kalau dalam dunia keagamaan, kita tidak boleh melangkah maju
dalam mengambil kemaslahatan ketika dua tangan timbangan itu
seimbang; maka di dalam dunia kedokteran keputusan pengambilan
kemaslahatan juga tidak boleh melangkah maju sebelum muncul
tanda yang memberatkan salah satu tangan timbangan. Begitulah
seharusnya kita mengambil keputusan pada persoalan yang baik
dan yang lebih baik; pada persoalan yang rusak dan yang paling
rusak. Demikianlah semestinya kaidah yang harus diberlakukan;
karena hanya orang-orang bodoh saja yang menyimpang dari
aturan yang berlaku seperti itu. Kita diharamkan memakan
binatang sembelihan dari orang-orang kafir. Namun ada sebagian
orang yang menyangka bahwa kemaslahatan itu terdapat pada
binatang yang disembelih, sehingga pandangan seperti ini tidak
benar. Sebenarnya, dia mendahulukan kemaslahatan pada binatang
yang rendah nilainya atas binatang yang, lebih tinggi
nilainya. Kalau orang ini mau melepaskan diri dari kebodohan
dan hawa nafsunya, maka mereka akan mendahulukan yang lebih
baik atas yang rendah nilainya. Mereka akan membuang yang
lebih jelek dan mengambil yang ielek:
"... Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah
disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang
penolongpun." (ar-Rum: 29)
Siapa yang mendapatkan bimbingan dari Allah dan dipelihara
oleh-Nya, sehingga dia dapat melihat hal itu dengan jelas, dan
melakukan amalannya sesuai dengan pandangannya itu, maka dia
akan mendapatkan keberuntungan. Akan tetapi, jumlah orang
seperti ini tidak banyak. Salah seorang penyair mengatakan:
"Kami menghitung jumlah mereka sangat sedikit. Tetapi
ternyata jumlah mereka lebih sedikit daripada yang
sedikit itu."
Demikian pula orang-orang yang melakukan ijtihad dalam hukum
agama. Ada orang yang diberi bimbingan oleh Allah SWT dan
dipelihara dari kesalahan, karena dia mendapatkan petunjuk
yang jelas dari-Nya, sehingga dapat melakukan yang benar. Oleh
karena itu, dia mendapatkan pahala atas niatnya dan kebenaran
yang dilakukannya. Sebaliknya, ada orang yang melakukan
kesalahan dalam melakukan ijtihad itu, maka dia hanya
mendapatkan pahala atas niat dan ijtihad yang dilakukannya;
sedangkan kesalahannya dimaafkan. Dan yang lebih besar dari
kesalahan itu ialah hal-hal yang berkaitan dengan usul fiqh.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kemampuan untuk memilih sesuatu
yang lebih besar kemaslahatannya, dan menolak sesuatu yang
lebih besar kejelekannya sudah diberikan oleh Allah dalam diri
manusia, sebagaimana yang telah kami sebutkan di dalam kitab
ini. Kalau Anda memberikan pilihan kepada seorang anak kecil
antara dua makanan yang lezat dan lebih lezat, maka dia akan
memilih yang lebih lezat. Kalau dia diberi pilihan untuk
memilih yang baik dan yang lebih baik, maka dia akan memilih
yang lebih baik. Kalau dia diberi pilihan untuk memilih uang
kertas dan uang dirham, maka dia akan memilih uang dirham.
Kalau dia disuruh memilih antara uang dirham dan dinar, maka
dia akan memilih dinar. Tidak akan ada orang yang mendahulukan
yang baik atas yang lebih baik kecuali orang yang tidak tahu
kelebihan yang lebih baik itu, atau orang yang berpura-pura
tidak melihat perbedaan antara dua tingkatan tersebut.1
Adapun kemaslahatan dan kemudharatan masalah akhirat hanya
dapat diketahui melalui dalil-dalil naqli.
Kemaslahatan dan kerusakan dunia dan akhirat berada pada
tingkat yang berbeda. Ada yang berada di atasnya dan ada pula
yang di bawahnya. Namun ada pula yang sama tingkatannya.
Kemaslahatan dan kerusakan ini terbagi lagi menjadi hal-hal
yang disepakati dan hal-hal yang tidak disepakati.
Setiap persoalan yang diperintahkan kepada kita untuk kita
lakukan merupakan persoalan yang mengandung kemaslahatan bagi
dunia dan akhirat, atau salah satu di antara kedua hal itu.
Dan setiap yang dilarang pasti mengandung kerusakan bagi dunia
dan akhirat, atau kerusakan pada salah satu di antara
keduanya. Perbuatan yang menghasilkan kemaslahatan yang paling
baik merupakan amalan yang paling mulia, sedangkan perbuatan
yang menghasilkan kerusakan yang paling buruk merupakan amalan
yang paling hina. Tidak ada kebahagiaan yang lebih baik
daripada makrifat, iman, dan taat kepada Allah SWT; dan tidak
ada kesengsaraan yang lebih buruk daripada kebodohan terhadap
ajaran agama, kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.
Pahala yang diterima di akhirat kelak juga berbeda menurut
tingkatan kemaslahatannya. Dan siksa yang akan diberikan di
akhirat juga akan dilihat menurut tingkat kerusakan yang
dilakukan. Sebagian besar tujuan ajaran yang terdapat di dalam
al-Qur'an al-Karim ialah menyuruh kita mengambil kemaslahatan
dengan segala hal yang berkaitan dengannya, dan mencegah kita
untuk melakukan kerusakan dan hal-hal yang berkaitan
dengannya. Tidak ada penisbatan kemaslahatan dan kerusakan di
dunia terhadap kemaslahatan dan kerusakan di akhirat. Karena
sesungguhnya kemaslahatan di akhirat kelak pahalanya ialah
surga yang abadi dan keridhaan Allah, dengan memandang
keharibaan-Nya. Betapa nikmatnya kenikmatan yang abadi ini.
Sedangkan kerusakan di akhirat balasannya ialah neraka yang
abadi dan kemurkaan Allah, dengan tidak berkesempatan
memandang keharibaan-Nya. Betapa sengsaranya siksa yang pedih
dan abadi ini.
Kemaslahatan itu ada tiga macam: kemaslahatan yang mubah,
kemaslahatan yang sunat, dan kemaslahatan yang wajib.
Sedangkan kerusakan itu ada dua macam: kerusakan yang makruh,
dan kerusakan yang haram.
CARA MENGETAHUI KEBAIKAN DAN KERUSAKAN DI DUNIA DAN DI AKHIRAT
--------------------------------------------------------------
KEBAIKAN dan kerusakan di dunia dan di akhirat hanya dapat
diketahui melalui syari'ah agama. Jika ada hal-hal yang masih
belum diketahui, maka harus dicari dari dalil-dalil agama;
yaitu dari al-Qur'an al-Karim, Sunnah Rasulullah saw, ijma',
qiyas yang benar dengan cara pengambilan dalil yang sahih.
Sedangkan kemaslahatan dunia dan hal-hal yang berkaitan
dengannya dapat diketahui dengan kepentingan, pengalaman,
kebiasaan, dan dugaan yang benar. Jika ada sesuatu yang masih
belum diketahui maka harus dicari dalilnya. Oleh karena itu,
orang ingin mengetahui kesesuaian, kemaslahatan, dan
kerusakannya, maka dia harus membandingkan antara keduanya,
mana yang diterima dan mana yang tidak diterima, kemudian
mengajukannya kepada akal pikirannya jika syari'ah agama belum
mengeluarkan ketetapan atas persoalan itu; dan selepas itu
dibangunlah hukum-hukum atasnya. Hampir tidak ada hukum yang
keluar dari aturan seperti ini, kecuali hal-hal yang berkaitan
dengan peribadatan terhadap Allah yang dilakukan oleh para
hambaNya. Dengan cara seperti itulah, kebaikan amalan dan
keburukannya dapat diketahui. Padahal sesungguhnya tidak wajib
bagi Allah untuk mengambil kemaslahatan yang baik, menolak
masalah yang buruk, sebagaimana tidak wajib bagi-Nya untuk
mencipta, memberi rizki, memberi beban kewajiban, memberi
pahala dan memberi siksa. Pengambilan kemaslahatan dan
penolakan atas hal-hal yang buruk merupakan sejenis
kekuasaan-Nya atas para hamba-Nya.
TUJUAN PENULISAN BUKU QAWA'ID AL-AHKAM
Imam Ibn Abd al-Salam memberikan penjelasan berkenaan dengan
tujuan penulisan bukunya, "Tujuan penulisan buku ini ialah
untuk memberikan penjelasan tentang pelbagai kebaikan
melakukan ketaatan, mu'amalah, dan tindak laku yang lainnya
agar supaya hamba-hamba Allah SWT berupaya mencapainya;
memberikan penjelasan mengenai buruknya penentangan terhadap
ajaran Allah, agar mereka menghindari tindakan seperti itu;
memberikan penjelasan mengenai baiknya berbagai ibadah agar
mereka melakukannya; penjelasan mengenai didahulukannya
sebagian kemaslahatan atas sebagian yang lain, dan
diakhirkannya sebagian kerusakan atas kerusakan yang lain;
serta penjelasan mengenai perbuatan yang dilakukan oleh
manusia yang dia tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.
Syari'ah agama ini secara keseluruhan mengandung berbagai
macam kemaslahatan; baik berupa penolakan terhadap kerusakan
atau pengambilan kemaslahatan. Jika Anda mendengarkan firman
Allah: "Wahai orang-orang yang beriman," maka perhatikan pesan
yang datang setelah panggilan ini, pasti Anda tidak akan
menemukan kecuali kebaikan yang dianjurkan olehnya, atau
keburukan yang Anda dilarang melakukannya, atau kedua-duanya
sekali. Allah telah menjelaskan dalam Kitab-Nya mengenai
sebagian hukum berkenaan dengan kerusakan yang sekaligus
menganjurkan kepada kita untuk menjauhinya, serta hukum-hukum
yang berkaitan dengan kemaslahatan yang sekaligus menganjurkan
kepada kita untuk melakukannya."2
HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN FIQH TUJUAN SYARI'AH
Fiqh Prioritas juga berkaitan erat dengan Fiqh Tujuan
Syari'ah. Semua orang sepakat bahwa hukum-hukum syari'ah
secara menyeluruh memiliki alasan, dan juga terdapat tujuan
tertentu yang ada di balik bentuk lahiriah hukum syari'ah yang
harus dilaksanakan itu; karena sesungguhnya di antara
nama-nama Allah ialah al-Hakim (Maha Bijaksana) , yang disebut
di dalam al-Qur'an al-Karim lebih dari sembilan puluh kali.
Allah yang Maha Bijaksana tidak akan membuat syari'ah agama
tanpa tujuan, sebagaimana Dia tidak akan menciptakan sesuatu
dengan sia-sia.
Bahkan, bentuk ibadah mahdhah (ibadah yang murni) juga
mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yang kadang-kadang alasan
ibadah itu disebutkan oleh al-Qur'an:
Shalat misalnya, adalah untuk mencegah perbuatan keji dan
mungkar (al-'Ankabut: 45); zakat untuk membersihkan dan
menyucikan diri manusia (at-Taubah:103); puasa untuk
menjadikan manusia bertaqwa (al-Baqarah, 183); dan ibadah haji
untuk menyaksikan berbagai manfaat, dan menyebut nama Allah
(al-Hajj, 28).
Di antara pemahaman terbaik kita terhadap ajaran agama Allah
ialah bila kita mengetahui tujuan pemberian beban kewajiban
yang mesti kita lakukan, sehingga kita dapat mewujudkan tujuan
tersebut, dan tidak memaksa diri kita dan juga orang lain
untuk melakukan sesuatu yang tidak berkaitan dengan tujuan
syari'ah.
Dari uraian ini saya tidak melihat alasan yang jelas mengenai
pemaksaan pentingnya mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk
makanan sebagaimana yang kita saksikan di setiap tempat pada
zaman kita sekarang ini, di kota maupun di desa. Pengeluaran
zakat fitrah dalam bentuk makanan bukanlah tujuan
satu-satunya, tetapi tujuan sebenarnya ialah mencukupi orang
fakir miskin pada hari yang sangat mulia ini agar mereka tidak
meminta-minta dan berkeliling menengadahkan tangan kepada
orang lain.
Saya juga tidak melihat alasan yang jelas makna pemaksaan
pelemparan jumrah dalam ibadah haji sebelum tergelincirnya
matahari, walaupun pada saat itu para jamaah sangat ramai, dan
ratusan orang mati terinjak kaki, seperti yang terjadi pada
musim haji tahun yang lalu. Di dalam syari'ah agama tidak
ditunjukkan bahwa perkara ini merupakan tujuan yang mesti
dicapai, tetapi tujuannya ialah mengingat Allah SWT, dan yang
diminta ialah yang mempermudah cara pelaksanaan ibadah haji
itu, sehingga tidak menyakitkan.
Yang terpenting di sini ialah, membedakan antara tujuan yang
tetap dan cara pelaksanaan yang berubah-ubah. Untuk hal yang
pertama kita umpamakan seperti besi yang sangat keras, dan
untuk hal yang kedua kita umpamakan seperti sutera yang
lembut. Persoalan ini telah kami jelaskan dalam buku kami,
Kayfa Nata'amal ma'a as-Sunnah an-Nabawiyyah.3
HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN FIQH NASH
Tidak diragukan lagi bahwa fiqh prioritas memiliki hubungan
yang erat dengan fiqh nash syari'ah yang bersifat parsial. Di
mana nash yang parsial ini berkaitan dengan tujuan secara
umum, kaidah-kaidah umum, sehingga yang parsial ini dapat
dikembalikan kepada yang umum, dan sebaliknya, masalah-masalah
cabang dapat dikembalikan kepada yang pokok.
Yang paling penting di sini ialah membedakan antara nash yang
bersifat qath'i dan nash yang bersifat zhanni, antara nash
yang muhkam dan nash yang mutasyabih. Nash yang zhanni mesti
dipahami berdasarkan yang qath'i, dan nash yang mutasyabih
mesti dipahami dalam kerangka nash yang muhkam.
Fiqh seperti ini sangat penting sekali untuk memahami Sunnah
Nabi, karena seringkali terjadi pencampuradukan pemahaman
antara Sunnah Nabi dan al-Qur'an; karena kedudukan Sunnah Nabi
sebagai penjelas dan pemerinci al-Qur'an al-Karim, sehingga
dia banyak masuk kepada hal-hal yang parsial dan pada tahap
pelaksanaannya. Selain ibu, di dalam Sunnah Nabi juga terdapat
penetapan syari'ah (tasyri'), yang melupakan masalah pokok;
dan juga ada perkara yang sifatnya bukan penetapan syari'ah,
misalnya hadits yang berkaitan dengan pengawinan pohon kurma.
Disamping itu, dalam Sunnah Nabi juga ada penetapan syari'ah
yang bersifat langgeng (kontinyu) dan ada pula yang sifatnya
insidental; ada penetapan syari'ah yang bersifat umum, dan ada
pula yang bersifat khusus. Di mana untuk berbagai persoalan
tersebut telah banyak dirinci oleh para ulama yang lain.
Saya sendiri telah menjelaskan masalah tersebut ketika
berbicara tentang Salah Satu Sisi Penetapan Syari'ah dalam
Sunnah, yang dimuat dalam majalah Markaz Buhuts as-Sunnah
was-Sirah; dan juga dalam buku saya sendiri as-Sunnah...,
Mashdar li al-Ma'rifah wa al-Hadharah.4 Bagi peminat dua
masalah ini dapat merujuk kepada dua buah sumber tersebut
untuk kajian yang lebih mendalam.
Catatan Kaki:
1 Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1:5-7.
2 Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 1:5-11.
3 Baca bagian yang membicarakan "Perbedaan antara Cara yang
Berubah-ubah dan Tujuan sunnah yang tetap."
4 Diterbitkan oleh Markaz Buhuts as-Sunnah wa al-Sirah
al-Nabawiyyah, Universitas Qatar.
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah