“Hai orang-orang yg beriman bertakwalah kepada Allah dgn sebebenar-benarnya dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kepada tali Allah dan jangan-lah kalian bercerai berai”.
Di tengah-tengah maraknya kebangkitan Islam diberagai belahan dunia gerakan dan semangat keilmuan merebak di mana-mana. Dalam hal ini kalangan generasi muda tak ketinggalan ikut mengambil peranan. Semuanya adl pertanda baik tapi terkadang sebagian mereka terjerumus ke dalam dua bahaya besar Pertama sebagian mereka dgn mudahnya berfatwa sementara bahan dan piranti yg mereka miliki sedikit sekali. Ibnul Qayim berkomentar “Tidak lah seorang mufti atau hakim disebut berkapasitas utk mengeluarkan fatwa atau utk menentukan hukum secara benar kecuali ia harus memahami dan mengerti dua hal
Memahami kondisi sosiologis masyarakat setempat berbagai hal pendukung terjadinya kondisi tersebut serta berbagai persoalan penting yg berkaitan dgn mereka.
Memahami hukum yg sesuai dgn kondisi tersebut. Dengan kata lain menerapkan hukum Allah yg ditetapkanNya utk jenis masyarakat tersebut sebagaimana yg ada dalam Al-Qur’an atau dalam hadis Nabi.”
Bila ia benar-benar mengeluarkan segenap kemampuannya pada dua hal tersebut dalam arti yg sebenarnya maka ia tergolong mujtahid. Dengan demikian minimal ia akan mendapat-kan satu dari dua macam pahala yg dijanjikan baginya. Kedua sebagian mereka jika sampai pada kesimpulan hukum masalah tertentu ia menganggap bahwa kesimpulan yg dimilikinya itu merupakan kebenaraan akhir dan mutlak sedang yg lain salah semua. Pada tahap berikutnya hal itu akan mendorong egonya utk memaksa-kan pendapat kepada orang lain. Orang yg mendukung pendapatnya dianggap sebagi sahabat karib sedangkan yg berbeda pendapat dengannya dianggap musuh bodoh dan ahli taklid.
Di atas itulah fenomena yg pada galibnya terjadi dalam menyikapi persoalan ijtihad. Makalah singkat ini berupaya mengetengahkan manhaj Ahlus Sunnah dan para salafus Shalih dalam soal ijtihad. Sebelum sampai pada isi pokok pembahasan perlu kiranya kita menggaris bawahi dua hal penting
Sesungguhnya perbedaan pendapat di kalangan para ulama dulu tidaklah atas dasar hawa nafsu tetapi semua itu berdasarkan dalil dan ijtihad.
Bahwa para ulama adl orang-orang yg paling dekat dan paling takwa kepada Allah.
Pengaruh takwa ini tampak jelas dalam kehati-hatian mereka dalam berfatwa. Sofyan berkata “Aku hidup di masa fuqaha. Mereka enggan ber-fatwa kecuali pada situasi yg sangat dibutuhkan”.
Perpecahan dan Perbedaan Adalah Tercela
Meskipun ijtihad -yang biasanya lbh berpeluang melahirkan perbeda an pendapat yg berdasarkan atas dalil diperbolehkan tetapi pada hakekatnya Islam sangat menganjurkan persatuan dan mencela perpecahan.
Oleh Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
sumber file al_islam.chm